KENDARIAKTUAL.COM, KENDARI – Sudah lebih dari 15 tahun desa Mata Bondu yang terletak di kecamatan Laonti, kabupaten Konawe Selatan (Konsel) tidak mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
Padahal, menurut pihak di Mata Bondu yang di wakilkan Hikalton selaku Kuasa Hukum Kepala Desa (Kades) Mata Bondu, secara administratif telah di akui oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai desa yang sah, namun Pemda tak juga mengakui daerah itu sebagai salah satu desa di daerahnya.
Selama belasan tahun, masyarakat di sana pun hidup dalam ketidak pastian. Status daerah tempat masyarakat bermukim, seperti perkampungan “Hantu” antara ada dan tiada. Seperti kekasih yang tak dianggap.
Desa Mata Bondu merupakan pecahan dari Desa Tambolosu, yang di mekarkan pada tahun 2005. Desa tersebut pun telah mendapat pengakuan melalui Permendagri Nomor 18 Tahun 2015 tentang kode dan data wilayah administrasi pemerintahan.
Sejak saat itu, Desa Mata Bondu di pimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades) bernama Ahmad. Keabsahan desa itu juga ditandai dengan data-data autentik masyarakatnya, seperti KTP, Kartu Nikah, Kartu Keluarga (KK), Ijazah, Pajak dan data berharga lainnya yang mencatumkan identitas warga Desa Mata Bondu, kecamtan Laonti, Konsel.
Bahkan, pada Pemilihan Umum tahun 2012 dan Pemilu 2014, Desa Mata Bondu memiliki penyelenggara ad hoc yang di bentuk KPU Konsel yakni Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Namun sayangnya, sejak dinyatakan mekar dari desa induk hingga kini. Desa tersebut tidak hanya diacuhkan serta tidak diakui keberadaannya oleh pemda. Akan tetapi, juga tidak mendapatkan bantuan atau dana apapun dari Pemda Konsel.
Hal itu, menyulut berbagai tanya dibenak masyarakat. Utamanya bagi aparat desa, yang telah bertugas selama belasan tahun.
Hikalton mengaku, pihaknya telah beberapa kali mempertanyakan kejelasan status desa tersebut ke Pemda Konsel. Mulai dari mendatangi kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BMPD) Konsel, hingga BMPD Provinsi Sultra.
“Tapi yang kita dapatkan tetap saja janji manis. Kami sudah bosan hampir setiap saat kami melakukan upaya, tapi sampai sekarang tidak ada respon dari Pemda,” keluh Ahmad saat ditemui awak media di Kendari, Senin (21/9/2020).
Meski begitu, Hilkaton mengaku, terus berupaya untuk meminta kejelasan kepada Pemda terkait status desa Mata Bondu. Salah satunya, dengan melayangkan surat ke Pemda Konsel dan Pemprov Sultra, yang berisi permintaan dokumen dasar-dasar rujukan pemerintah daerah tidak mengakui keabsahan Desa Mata Bondu.
Surat permintaan tersebut dilayangkannya ke Pemda Konsel pada 7 Juli 2020 dan pada 8 Juli 2020 ke Pemprov Sultra.
“KIta minta agar pemerintah memberikan dokumen yang mendasari mereka (pemerintah), tidak mengidahkan Permendagri Nomor 18. Karena secara administarsi kita legal, kode wilayah dan lain sebagai kita ada. Bahkan di situs data pusat desa kita terdaftar dengan nomor registrasi 19,” katanya.
Tidak hanya itu, pada tahun 2019 silam, lanjutnya, dari hasil penulusuran pihaknya, desa Mata Bondu tercatat pernah mendapatkan bantuan anggara sebesar Rp750 juta. Akan tetapi, dana tersebut tak pernah diterima oleh pihak desa.
“Kalau soal anggaran itu katanya ada, tapi kita juga tidak tahu itu dana apa. Saat ini kita hanya ingin fokus bagaimana status desa kami di sana, karena selama ini kita tidak pernah dapat dana apa-apa dari Pemda. Kecuali bantuan dari pemerintah pusat,” bebernya.
Desa Mata Bondu juga sempat mengalami perubahan kode wilayah dari 20 menjadi 19. Padahal, menurut Hikalton, dalam pasal 11 Permendagri Nomor 72 Tahun 2019 tentang perubahan atas Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 tentang kode dan data wilayah administrasi pemerintahan, beserta dasar hukum desa yang sah yang terlampir di peraturan bupati (Perbup) semenjak daerah Konawe Selatan berdiri.
Atas dasar itu, ia menganggap Pemda Konsel sama sekali tidak mengindahkan dan melegalkan regulasi Permendagri tahun 2005. Padahal Permendagri nomor 173 tahun 2017 yang diubah dengan Permendagri nomor 72 tahun 2019, memuat jumlah desa di Kecamatan Laonti yaitu 19 desa. termasuk di dalamnya desa Mata Bondu.
“Setidaknya pemerintah bertindak dan memberikan kejelasan, kenapa karena, pada identitas diri dan sebagainya kami teregis sebagai warga desa Mata Bondu. Tapi yang kami dapatkan justru janji, katanya kami akan definitfkan. Kata pemda lima desa salah satunya Mata Bondu. Kan mereka sendiri yang mengurus pemekaran desa Mata Bondu ke Kemendagri tapi begitu sudah ada kode wilayah mereka sendiri juga yang tidak mengakui, itu kan aneh,” tutupnya.
Sementara, Kepala Biro Pemerintahan Setda kabupaten Konsel, Doni mengaku, sampai saat ini Mata Bondu masih berstatus sebagai bagian dari desa Tambolosu, kecamatan Laonti.
“Kemarin di BPMD Konsel, kita sudah melakukan pertemuan dengan pihak desa Mata Bondu. Termasuk dengan pak Ahmad yang mengaku sebagai Kepala Desa di sana dengan pengacaranya, dan kita tegaskan bahwa wilayah kalian itu masih bagian dari desa Tambolosu,” terang Doni saat dihubungi awak media via telepon.
Meski begitu, katanya, saat ini Pemda Konsel tengah menyusun peraturan untuk mengajukan Mata Bondu sebagai desa persiapan yang akan di mekarkan dari desa induknya.
Ia juga mengakui, dalam Permendagri nomor 72 tahun 2019 memang terdapat desa Mata Bondu di kabupaten Konsel. Akan tetapi desa tersebut tidak memiliki kode desa atau kode wilayah. Ia pun menegaskan, desa yang tidak memiliki kode wilayah tidak dapat dikatakan sebagai desa yang sah.
“Dan ada kesalahan di lampiran Pemendagri itu, desa Laonti yang merupakan desa tertua di kecamatan Laonti justru tidak ada, kemudian pak Bupati menyurat dan sudah ada koreksi dari Dirjen Kementerian Desa bahwa desa Mata Bondu di coret diganti desa Laonti,” katanya,
Doni mengungkapkan, syarat pembentukan desa harus melaui sejumlah tahapan. Seperti pra karsa dari masyarakat setempat, yang dilanjutkan verifikasi data dan teknis dari tim kabupaten, dan pembuatan peraturan bupati (Perbup) desa persiapan.
“Kemudian dari Perbup desa persiapan itu, di tanda tangani oleh Bupati dan di kirimkan ke Provinsi untuk mendapatkan register, setelah itu dapat di kirimlah ke Kemendagri untuk mendapatkan kode desa, setelah ada kode desa kabupaten bikin peraturan Daerah (Perda) untuk membentuk desa definitif, nah di situlah baru bisa di anggap definitif kalau sudah ada Perda -nya,” ungkapnya.
Meski begitu, Doni mengaku, pihaknya menerima semua opini dan tanggapan dari pihak Mata Bondu, terkait dengan klaim Permendagri Nomor 18 Tahun 2015 tentang kode dan data wilayah administrasi pemerintahan, yang mana Mata Bondu telah mendapatkan pengakuan sebagai desa yang sah melalui Permendagri tersebut.
“Kalau soal itu kami tidak masalah, itu hak mereka. Tapi kami sudah sampaikan dalam pertemuan itu, untuk menjamin hak asasi yang bersangkutan silahkan lakukan upaya hukum kalau memang memiliki bukti yang cukup. karena kami juga minta pembentukan desa itu harus ada Perda dan Kadesnya juga harus memiliki SK dari Bupati,” ujarnya.
Namun sampai saat ini, kata Doni, pihaknya belum mendapatkan bukti-bukti tersebut yang bisa menguatkan Mata Bondu sebagai desa yang sah. Ia pun tidak menampik, bila pihaknya juga telah mendapatkan surat permintaan dokumen dari pihak Mata Bondu. Akan tetapi, menurutnya, terkait dokumen tersebut merupakan kewenangan dari Biro Hukum Setda Konsel.
“Setahu saya belum pernah ada pengajuan desa baru di Konsel, sejak tahun 2009. Dan bisa saya pastikan itu yang terakhir keluar Perda terkait desa definitif di Konsel, dan tidak ada Mata Bondu,” tutupnya.
Meski begitu, pihak Pemda Konsel, sambungnya, akan tetap memberikan kesempatan bagi warga Mata Bondu untuk melakukan upaya terkait dengan tutuntan masyarakat di sana soal status Mata Bondu. Menurutnya, warga Mata Bondu merupakan warga Konsel, yang juga harus di jamin hak-haknya sebagai warga negara.
*Redaksi