KENDARIAKTUAL.COM, ANDOOLO – DPRD Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan puluhan masyarakat Kecamatan Konda terkait persoalan timpang tindih lahan. Rapat digelar di gedung DPRD konsel, Rabu (17/3/2021).
Sedikitnya sengketa lahan tersebut melibatkan beberapa warga yang saling klaim di Empat desa Kecamatan Konda. Yakni Desa Lebo Jaya, Morome, Alebo, Lamomea dan Kelurahan Konda. Hal ini terungkap pada RDP yang dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Konsel, Nadira.
Saling klaim berawal dari salah seorang warga Kelurahan Konda, Afiat Tawakal yang mengklaim bahwa tanah yang diakuinya merupakan warisan tanah Walaka (pengembalaan ternak) pada zaman dahulu yang dikelola oleh kelompok keluarganya.
Hal ini ditentang oleh salah seorang warga Desa Lebo Jaya Syarifuddin yang juga sebagai salah satu warga yang mengklaim lahan, Syarifuddin menjelaskan, lahan seluas 20 hektar yang terbagi empat hamparan tepatnya di Gunung Alupai tersebut merupakan lahan yang sebelumnya dimiliki oleh mendiang orang tuanya dan dimanfaatkan sebagai tempat membuka kebun.
“Lahan ini diklaim oleh Afiat Tawakal. Diklaim sebagai tanah walaka sejak tahun 1920 peninggalan leluhurnya,” kata Syarifuddin memaparkan dihadapan para anggota dewan.
Senada dengan itu, warga lainya Awaluddin, menuturkan bahwa lahan yang diklaim oleh Afiat Tawakal bukanlah tanah Walaka.
“Lahan diatas bukan lahan perkebunan. Tetapi lahan perkampungan. Buktinya kuburan batu. Setelah pindah dikampung sekarang naik berkebun tetapi yang berkebun turunannya. Bukan walaka dan bukan naik berkebun. Tapi perkampungan masyarakat waktu itu,” ujar Awaluddin.
Sementara di Desa Lamomea seluas 13 hektar juga diklaim oleh Afiat Tawakal yang merupakan kaitan dengan 20 hektar milik Syarifuddin.
Lurah Konda, Musyriadi mengungkapkan, saling klaim antara warga dan Afiat Tawakal merupakan lahan yang sama sehingga tumpang tindih.
Misalkan, lanjut dia, yang diklaim oleh Afiat Tawakal seluas 260 hektar, adapula yang diklaim warga dalam lima rumpun seluas 120 hektar, kelompok masyarakat Kelurahan Konda seluas 27 hektar, dan kepemilikan perorangan 27 hektar, 11 hektar, 7 hektar sampai dua hektar.
“Lokasi yang diklaim tersebut merupakan lokasi yang sama dalam satu hamparan,” terang Musyriadi.
Sedangkan Afiat Tawakal menuturkan lahan yang diklaimnya tersebut selain tanah peninggalan leluhur sebagai tanah walaka juga tanah yang telah dibelinya dari beberapa warga yang sebelumnya mengklaim memiliki tanah itu.
Masing-masing pihak membuktikan saling klaim itu dengan menunjukan Surat Keterangan Tanah (SKT), peta dan SK Gubernur.
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konsel, Ruslan Emba menyampaikan jika persoalan itu bisa saja diselesaikan secara kekeluargaan. Melalui, kata Ruslan, peran camat, kepala desa dan tokoh masyarakat.
Dia menjelaskan untuk satu Kepala Keluarga (KK) maksimal memliki 12 hektar lahan yang dikuasai. “Sebab BPN dikuasakan oleh negara untuk memberikan kepemilikan. Saya juga heran kalau satu orang bisa memiliki ratusan hektar lahan,” nilainya.
Sementara itu, Nadira SH yang memimpin RDP meminta agar para pihak menunjukan legalitas yang sah akan penguasaan fisik tanah. Baik itu tanah adat maupun surat penunjukan bahwa benar adanya tanah yang diklaim merupakan tanah Walaka.
“Para pihak perlu menunjukan bukti otentik menguasai secara fisik terkait masing-masing tanah yang diklaim. Jika itu tanah walaka maka perlu bukti fisik dan masih terpelihara secara terus menerus,” terang Nadira.
Terkait tumpang tindih dan saling klaim, dia mengatakan akan dibuka ruang nonlitigasi karena yang lebih baik persoalan tersebut diselesaikan secara kekeluargaan.
“Kalaupun perlu diuji, maka kita serahkan kepada para pihak untuk menempuh jalur hukum di pengadilan,” tandas Nadira.
Reporter : Ari
Editor : M Rasman Saputra