Lembaga penyiaran publik dan Lembaga Penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang bersifat independen/netral dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan publik. Sumber pendanaan penyiaran publik berasal dari negara, iuaran, iklan dan donatur yang tidak mengikat.
Ada lima ciri Lembaga penyiaran, baik lembaga penyiaran publik maupun lembaga penyiaran swasta, yang Pertama, akses publik, akses publik di sini dimaksudkan tidak hanya coverage area, tetapi juga menyangkut bagaimana penyiaran publik mau mengangkat isu-isu lokal dan memprosuksi program- program lokal sehingga misalnya dapat membentuk secara alami dari bawah, tokoh-tokoh lokal yang betul-betul mengenal. Dikenal dan mewakili masyarakatnya.
Kedua, dana publik, perlu diingat bahwa lembaga penyiaran publik tidak hanya mengandalkan keuangannya dari anggaran negara tetapi juga dari iuran dan donatur. NHK di jepang misalnya 90% anggarannya berasal dari sumbangan sukarela masyarakat Jepang. ABC di Australia mayoritas anggarannya berasal dari pemerintah federal Australia, ini tidak masuk dalam pimbiayan lembaga penyiaran swasta.
Ketiga, akuntabilitas publik, karena dana utamanya dari publik, maka terdapat kewajiban bagi penyiaran publik untuk membuatr akuntabilitas finansialnya. Di banyak TV publik di Amerika Serikat, pemirsa dapat melihat neraca keuangan stasiunnya setiap saat yang disebut public file.
Kempat, keterlibatan publik, keterlibatan publik di sini, bisa berarti (pertama) menjadi penontonnya, kemudian menjadi kelompok yang dengan rela membantu menyumbangkan tenaga, pikiran, dan dana untuk kelangsungan penyiaran publik; dan yang demikian penting adalah keterlibatan dalam ikut memberi arah pada program-program yang akan dibuat serta ikut mengaevaluasinya.
Kelima, kepentingan publik lebih dimenangkan dari pada kepentingan iklan. Misalnya, ada satu acara yang begitu baik dan bermanfaat menurut publik, namun ratingnya rendah, maka ia tetap akan diproduksi dan diupayakan tetap dipertahankan penayangannya. Tentu kontras dengan penyiaran komersial.
Hakikat penyiaran publik adalah diakuinya supervisi dan evaluasi publik pada level yang signifikan. Publik di sini dibaca sebagai “warga negara.” Hanya karena adanya hakikat inilah maka stasiun publik dapat melakukan apa yang didengung-dengungkan sebagai public service itu.
Mengapa kita berkomunikasi? Apa fungsi komunikasi bagi manusia? Pertanyaan ini begitu luas, bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk menjawabnya. Apalagi kalau pertanyaanya kita lebih fokuskan seperti, mengapa kita berkomunikasi ? cara-cara seperti apa yang menjadikan komunikasi menjadi efektif, dan sebagainya. Kalau kita teliti lebih lanjut, pertanyaan tersebut merupakan dasar ketika kita akan mendalami proses komunikasi antar manusia. Baik itu komunikasi yang bersifat langsung, interpersonal maupun komunikasi yang menggunakan media, baik media komunikasi interpersonal dan media massa.
Sebelum masuk ke istilah penyiaran publik, lebih saya akan mendefinisikan terlebih dahulu kata publik sejauh dimungkinkan. Kata publik, ketika membicarakan pada tingkat lembaga penyiaran publik, secara umum dilekatkan dalam konteks ‘warga Negara (citizens) dengan hak-haknya. Menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya adalah konsekwensi logis secara hukum (juga konsekwensi politis, administratif, dan lain-lain) dari kontrak sosial bersama, yang melahirkan negara berikut dengan; wilayah negara, warga negara, dan pemerintahan, serta atribut lainya dari negara tersebut. Misalnya penggunaan publik yang dilekatkan pada transportasi publik, pelayanan publik, dan lain-lain.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik sebagaimana yang disebut oleh Efendi Ghazali dalam ‘Penyiaran Publik dan Penyiaran Komunitas Alternatif tapi Mutlak, bahwa kata publik diposisikan sekaligus dalam dua (2) pengertian yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif.
Media penyiaran publik, khususnya TVRI dan RRI sebenarnya bisa membuat suatu reformasi semacam itu. Pemaparan yang jelas mengenai efek negatif media massa perlu ditonjolkan. Pada akhirnya, masyarakat menampakkan kesadarannya akan penggunaan media massa. Hal ini berujung pada penggunaan TVRI dan RRI sebagai sarana pendidikan dalam publik kita. Memang tidak mudah dalam melaksanakannya.
Salah satu hal lain yang sebenarnya menjadi permasalahan yang sangat pelik yakni issue mengenai status pegawai negeri bagi para pegawai di TVRI dan RRI. Menurut Leen d’Haenens ini sangatlah membahayakan “Bukankah ini berarti status mengembalikan TVRI dan RRI persis seperti di era Orde Baru?” Lembaga media penyiaran benar-benar dipertegas dan dipersempit ruang geraknya. Pada akhirnya, pemerintahlah yang mengatur segala-galanya. Padahal dengan semacam itu, berarti juga memasung bagaimana media penyiaran publik tersebut bekerja penuh untuk publik juga.
Bagaimanapun juga, media penyiaran di Indonesia juga tetap harus dibanggakan. Setiap pemerintahan di Indonesia tentunya menginginkan perkembangan yang baik bagi kualitas penyiarannya. Presiden Megawati juga dinilai sangat konsen dengan perkembangan media penyiaran ini. Munculnya KPI dan UU Penyiaran tidak boleh dilepaskan dari situ.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang berperan dalam bidang penyiaran di Indonesia mempunyai tanggungjawab besar dalam penataan penyiaran yang ada di Indonesia. Persoalannya tidak sekedar pada content siaran namun juga pada infrastruktur penyiaran yang mencakup persoalan distribusi frekuensi.
Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia memang dimaksudkan sebagai perwujudan peran serta masyarakat yang berfungsi untuk mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat dan penyiaran.
Dibentuknya KPI di Indonesia ini sebenarnya sangatlah wajar mengingat bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Namun yang perlu digarisbawai bahwa KPI tetap harus bekerja dengan segala tanggungjawab moral yang diserahkan kembali di masyarakat. Bagaimanakah penyiaran yang baik itu ditata dan disusun oleh KPI.
Secara khusus, publik dalam istilah penyiaran publik diposisikan dalam dua pengertian, yakni sebagai khalayak (pemirsa atau pendengar) dan sebagai partisipan yang aktif. Pemahaman ini terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat, hak untuk mendapatkan informasi, serta upaya pemberdayaan masyarakat dalam proses menuju civil society.
Sementara mengenai syarat penyiaran publik (public service broadcasting), diantaranya adalah media yang : 1. Tersedia (available) secara “general-geographis”, 2. Memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional, 3. Bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersil, 4. Bemiliki imparsialitas program, 5. Memiliki ragam variasi program, dan 6. pembiayaannya dibebankan kepada pengguna media.
Definisi tersebut mengandaikan bahwa penyiaran publik dibangun didasarkan pada kepentingan, aspirasi, gagasan publik yang dibuat berdasarkan swadaya dan swamandiri dari masyarakat atau publik pengguna dan pemetik manfaat penyiaran publik.
Oleh karena itu, ketika penyiaran publik dibangun bersama atas partisipasi publik, maka fungsi dan nilai kegunaan penyiaran publik tentunya ditujukan bagi berbagai kepentingan dan aspirasi publik. Kebebasan bisnis media yang berkembang tanpa kendali membuat ranah penyiaran kita kehilangan asas keadilan, pemerataan, etika, sekaligus keberagaman. Dalam hal kepemilikan lembaga penyiaran oleh swasta, telah terjadi pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan yang berlaku. Contohnya, sejumlah korporasi lembaga penyiaran swasta bisa menguasai dua atau tiga stasiun penyiaran (televisi juga radio), dalam satu badan usaha, di satu wilayah siaran. Sebut saja korporasi MNC yang menguasai RCTI, Global TV dan MNC (dulu TPI) di wilayah Jakarta. Kemudian grup Elang Mahkota Teknologi (EMTK) memiliki SCTV dan Omni-TV (O Channel), ditambah upaya akuisisi grup EMTK terhadap Indosiar. Kemudian grup Visi Media Asia yang hendak masuk ke pasar modal dengan menguasai dua stasiun ANteve dan TVOne yang sama-sama berbasis di Jakarta.
Itu semua jelas melanggar pasal 18, pasal 20, pasal 34 ayat (4) Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah No 50 tahun 2005 pasal 34 ayat (1) huruf (a) tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Sementara itu UU Penyiaran juga mengatur penyertaan modal asing dalam usaha penyiaran dibatasi maksimum 20%, kendati kenyataannya sudah seringkali dilanggar.
Pasal-pasal tersebut pada intinya melarang seseorang atau badan hukum memiliki dan atau menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran swasta di satu daerah. Selain melarang konsentrasi kepemilikan, UU Penyiaran juga melarang pemindahtanganan izin penyelenggaraan siaran –dalam arti dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain. Sanksi terhadap pelanggaran itu ialah pidana penjara (2-5 tahun), denda 500 juta sampai 10 milyar, serta pencabutan izin penyiaran.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menyampaikan pandangan hukum atas rencana pengambilalihan stasiun penyiaran karena itu berpotensi melanggar hukum. Sayangnya, peringatan KPI itu diabaikan oleh “regulator negara” yaitu Bapepam dan Kementerian Kominfo. Kami menduga terjadi kongkalikong bisnis perizinan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang membuat pelanggaran terhadap UU Penyiaran makin meluas, tanpa bisa dicegah. Kami berpendapat, aparatur pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap carut-marut kepemilikan stasiun penyiaran (TV dan radio) saat ini ialah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat maupun daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran. KPI melakukan peran-perannya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
Dalam menjalankan fungsinya, KPI juga mempunyai beberapa wewenang yaitu 1. Menetapkan standar program siaran dan Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran. 2. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran dan Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. 3. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
Regulasi Media adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan operasinal media massa. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan global media. (Umaimah : 2011) Regulasi media tidak jarang dianggap sebagai suatu aturan yang bersifat membatasi, adanya kontrol penuh, bahkan dianggap sebagai penghalang atas kebebasan berekspresi. Namun, harus diakui bahwa regulasi media sangat diperlukan dalam situasi tertentu.
Berikut terdapat tiga alasan pentingnya regulasi media. Yang pertama adalah regulasi media membantu audience mendapatkan informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Yang kedua adalah regulasi mempunyai sisi di mana menjaga aturan pasar agar tidak terciptanya monopoli atau bahkan komersialisasi media. Sedangkan yang ketiga, regulasi bukanlah sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi kaum minoritas. Regulasi justru tetap dapat menjunjung tinggi nilai kebebasan berekspresi setiap individu. Regulasi bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau membuka diri terhadap kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan.
Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan prinsip pluralitas di Indonesia, di mana adanya sikap menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam proses demokrasi (Haryatmoko, 2007:149).
Yang terakhir saya menyimpulkan bahwa pemerintah telah beritikad baik untuk mengontrol kebebasan media massa di Indonesia tanpa mengurangi kebebasan media massa itu sendiri. Walau bagaimanapun, kebebasan media massa harus menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.
Penyebab lemahnya regulasi penyiaran di Indonesia adalah karena Kekuatan media yang dipercaya dan mampu mempengaruhi masyarakat adalah salah satu faktor utama mengapa beberapa media tidak “dikontrol”. Selain itu, alasan dengan dasar “demokrasi” dan kebebasan berpendapat membuat banyak pihak dengan bebas melakukan segala kepentingannya di media miliknya. Contoh jelas dari kasus ini adalah TvOne (yang dimiliki Aburizal Bakrie) dengan nuansa ARB dan iklan politiknya yang kental.
Disinilah regulasi berperan untuk menjaga kepentingan masyarakat dari kepentingan-kepentingan tertentu. Tujuannya yaitu untuk meminimalisir masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi korban konvergensi media, khususnya generasi muda yang dianggap memiliki akses terhadap media konvergen dan rancunya batasan seberapa jauh isi media konvergen dianggap melanggar norma yang berlaku.
Namun, yang menarik ialah bahwa teknologi selalu mendahului regulasi. Bagaimana caranya mengontrol semua ini? Yang dianggap paling berwenang ialah negara karena negara dianggap penyeimbang antara pasar dan masyarakat. Di sisi lain negara mempunyai wewenang untuk menjaga efektifnya sebuah regulasi. Secara ideal hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat seharusnya berjalan seimbang. Jangan sampai salah satu pihak mendominasi dan masyarakat hanya bisa menerima informasi apa yang diberikan media.
Oleh Rahmat Buhari
Calon Anggota KPID Sulawesi Tenggara